Cerita dari Padang
Tiga hari itu aku lalui dengan
menyisakan kata – kata awesome, amazing,
great, wonderful, fabulous, hingga aku speechless.
Tiga hari itu adalah serangkaian acara Global Lead Summit yang kuikuti (14, 15,
16 agustus 2014). Pengalaman pertama mengikuti konferensi internasional yang
tidak akan pernah terlupakan. Pastinya, dengan dikerubungi sekelebat pertanyaan
sebelum aku meng-klik tombol register di laman pendaftaran itu, yaitu “ingin
tahu, apa yang mereka lakukan saat menghadiri konferensi? apa – apa saja yang terlintas dalam benak
mereka? Bagaimana aku dan mereka
menghadapi culture shock dalam
konferensi internasional?”. Pertanyaan ini begitu menarik untuk kujawab sendiri
dengan trip ke Padang selama seminggu. Baiklah, begini ceritanya.
Dengan segenap bekal finansial
dan persiapan konferensi, aku beranjak ke ranah Minang dengan transportasi
darat. Benar, dibandingkan dengan mereka yang berasal dari luar Sumatera,
Rantau Prapat dan Padang sangatlah dekat jika diperhatikan di peta. Namun hal
itu akan merusak harapan saat hanya transportasi via bus yang tersisa.
Kontur daratan Minang yang berbukit dan berlembah mungkin menjadi alasan kuat
mengapa alat transportasi ini tidak dapat meringkas waktu perjalanan. Dengan
sabar aku yang duduk termenung memandangi keluar jendela mengikuti arus
kendaraan melalui jalan yang berkelok – kelok. Sebenarnya aku juga harus
memberi piala penghargaan bagi diriku untuk memecahkan rekor menunggu dalam bus
terlama yang pernah ku lalui dalam mengarungi perjalanan (21 jam). Namun, kebosanan
ini seakan terbayar dengan pemandangan yang menyejukkan mata, pikiran, raga,
dan mendamaikan perasan. Air terjun, sungai yang mengalir dengan jernihnya di antara
bebatuan, ramainya perbukitan mengisi ruang hijau di bawah payung biru langit
dengan awan teduh. Aku merasa damai, damai yang timbul berkat kesadaran bahwa
aku memiliki Tuhan Yang Maha Besar yang mampu meyediakan ini semua. Segala
sesuatu kalimat Pujian memang pantas untuk-Nya.
Tiba di tempat yang telah
dijanjikan panitia pelaksana. Rintik hujan yang padat
turut mengiringi langkah kakiku di tanah baru, di sekeliling orang dengan aksen
dan bahasa yang berbeda, akupun sedikit mengalami kebingungan menuju penginapan
reservasi. Saat mandi, terdengar kebisingan dari koridor asrama.
Kebisingan yang berbeda, yaitu riuh riang dengan bahasa inggris. Ternyata para
delegasi dari negara lain baru saja tiba. Akhirnya aku menemui siapa saja akan
menjadi teman sekamarku malam itu. Merekalah Hai Mi Nguyen dari Vietnam, dan
Welly Vebriani dari Pulau Belitong. Mereka begitu bersahabat dan kami cepat
sekali menjadi akrab. Dengan bahasa inggris yang masih pas – pasan, aku berusaha
berkomunikasi dengan Hai Mi semampuku memperkenalkan Indonesia seadanya, tentu agar
ia tidak merasa asing.
Untuk mecari makan malam, aku
dan Welly memutuskan untuk menjemput delegasi lainnya di sebuah mall. Di mall,
aku bertemu dengan delegasi lainnya. Terjebak hujan membuat segerombolan kami
para delegasi menunggu untuk waktu yang tidak sebentar agar dapat balik ke
asrama. Saat menunggu aku berkenalan degan banyak teman baru, diantaranya Dyah
dan Ade dari UI, Nur dari UNJ, Harri dari President University, dan Haruki dari
Jepang. Perbincangan diantara kami juga diwarnai dengan kaliamat tanya jawab
yang begitu umum dengan pertanyaan orang
- orang yang baru berkenalan.
Keesokan harinya, agenda
kegiatan dimulai, Opening ceremony
diadakan di auditorium guberbur. Acara dibuka dengan tarian khas minangkabau
yang eksotis, lantas saja perasaanku menjadi bangga dengan kekayaan budaya
Indonesia. Begitu banyak yang dapat diandalkan dari indoneia ketimbang harus
menguras perasaan memikirkan korupsi pejabat di sana. Hal yang kuingat saat itu
adalah kebingungan Haruki yang duduk di sebelahku mendegarkan kata sambutan
yang panjang dan berbahasa Indonesia dari pemerintah Kota Padang. Tiba di hotel
tempat diselenggarakannya sisa agenda hingga 3 hari kedepan, lagi, aku bertemu
dengan teman baru yang akan menjadi teman sekamar. Mereka adalah, Asma dari
Thailand, Ditha dan Tilla dari Padang. Mereka sangat bersahabat dan baik
sekali. Asma adalah satu – satunya muslimah internasional yang kutemui di sana.
Sama – sama menggunakan jilbab menyadarkanku bahwa Ia adalah saudara yang
berbeda bahasa denganku. Sedangkan Tilla dan Ditha juga berperan sebagai tuan
rumah yang sangat baik dengan kami. Terkadang tiga di antara kami menggunakan
bahasa Indonesia di depan Asma, hingga Asma mengungkapkan padaku Ia seperti
sedang menontong TV tanpa subtitle, tidak ada ide sama sekali tentang
pembicaraan kami. Tenang Asma, kami tidak pernah membicarakanmu.
Pembukaan konferensi di balai hotel dikemas
dengan amat sangat menarik, berenergi, dan sangat anak muda. Mengingat baik
penyelenggara maupun fasilitator -
fasilitator dari kegiatan ini juga para pemuda.Gatot, Chair atau protokol
konferensi sangat lucu dan mampu mengembalikan semangat kami untuk memelompat
ke sesi acara berikutnya. Tidak kalah menarik, fasilitator yang tersedia juga
tamapak selalu semangat. Mereka adalah Dea dari Unibraw, Bina dari UGM, Aldo
dari UNAND, James dari Malaysia, dan Alaa dari Mesir. Setiap dari mereka
bekerja sama menjadi fasilitator dari setiap sesi yang digelar.
Global Lead Summit 2014 in
Padang yang bertajuk Mind, Heart, Action
ini memiiliki proses tersendiri untuk mencapai tujuannya. Hari pertama adalah
mengapa kita harus menjadi seorang “Leader”
dan harus memiliki sikap kepemimpinan. Hari kedua adalah bagaimana kita dapat
menjadi seorang pemimpin, dan hari ketiga adalah apa yang dihadapi oleh seorang
pemimpin. Di malam hari pertama Gala Dinner dilaksanakan, para delegasi
menggunakan busana formal terbaiknya duduk menikmati hidangan pada meja bundar
dengan delegasi lainnya. Malam semakin berwarna dengan penampilan penari
membawakan Tari piring. Mencengangkan, salah satu penari berlompat – lompat di
atas beling kaca tanpa merasa sakit dan terluka, mereka benar – benar
profesional.
Gala dinner berakhir dengan
berkumpulnya para delegasi kepada kelompok mereka masing – masing. Itulah saaat
pertama kali aku bertemu dengan kelompokku, Kelompok Biru. Kelompok biru
terdiri dari Haruki dari jepang, Ayush dari Nepal, Guma dari Malaysia, Aku dari
USU, Ditha dan Tilla dari UNAND, Firman dari UNIBRAW, dan Bayu dari Jakarta.
Ini adalah kelompok tetap yang akan terus bersama hingga akhir konferensi. Kami
mulai mendiskusikan mulai dari menentukan nama grup (Forerunner), ketua(Ayush), hingga masalah yang akan dibahas pada
diskusi panel keesokan hari.
Hari kedua dimulai dengan panel diskusi.
Setiap kelompok mempresentasekan hasil diskusi. Karena begita banyak masalah
yang diangkat, tidak diadakan tanya jawab, mengingat waktu yang tersedia juga
sangat dibatasi. Jujur, aku sangat menyukai setiap sesi dari konferensi kecuali
sesi yang satu ini. Membosankan yang membingungkan.Diskusi berakhir ditandai
dengan makan siang, coffe break, dan
sholat jumat dan dimulai kembali dengan sesi berikutnya. Pada sesi berikutnya,
dengan materi – materi dan pelatihan yang diberikan, aku dapat menangkap bahwa
kita lebih seperti mengenal diri kita sendiri, tentang kelebihan dan kekurangan
dan sikap apa yang patut kita tunjukkan kepada diri kita setelah itu.
Malam hari digelar pesta topeng dengan pakaian
serba gelap. Semua orang tiba di hall
dengan topeng mereka masing – masing. Delegasi dari Jepang menggunakan topeng –
topeng yang unik. Jika yang lainnya berlomba – lomba mengenakan topeng
se-elegan mungkin, beberapa delegasi dari Jepang menggunakan topeng wajah lucu,
aneh dan menakutkan. Malam kami habiskan dengan menyaksikan penampilan dari
panitia, menari dan bernyanyi bersama, dan menikmati permainan karnaval yang
disediakan. Melelahkan, mungkin karena terlalu banyak ber-selfie-ria dengan teman – teman. Tapi, malam itu mereka luar biasa.
Kami semakin bersatu dan tidak akan melupakan keakraban yang mampu kami bina
selama 3 malam.
Keesokan harinya, para delegasi
berkumpul dengan atasan serba putih di hall mendengarkan materi dari seorang
motivator tentang manajemen dari UNAND, Bu Rachmi namanya. Kami memiliki nama
yang sama, aku berharap aku bisa seperti atau lebih dari Ia. Ia menyampaikan
materi sangat cemerlang dan mudah sekali ditangkap. “Yes, honey” itulah sapaan yang ia berikan kepada semua delegasi.
Melompat ke sesi berikutnya, kami berkumpul dengan kelompok kami kembali.
Panitia mengadakan games yang memerlukan kerja kelompok . Yaitu membangun
menara setinggi – tingginya dari beberapa lembar koran. Guma menawarkan
strategi yang ia miliki dan kami melaksanakannya. Untunglah Forerunner memiliki teknisi sekeren Guma
dari Malaysia. Dengan apik menara berdiri dengan gagah tanpa limbung. Setelah
makan siang dan acara yang ditunggu – tunggu, amazing race, pun tiba.
Seperti dugaanku, sesi ini
dilakukan di luar hotel. Ada beberapa misi yang harus diselesaikan masing –
masing kelompok untuk memperoleh posisi pemenang. Akankah ini seperti TV show
Korea “Running Man”?. Benar, yang
kami lakukan adalah berlari dan berlari menuju misi satu pada misi lainnya,
mendahului kelompok lain. Misi pertama adalah mencari benda yang ditentukan dan
mengambil gambar dengan kelompok dalam Museum, Forerunner berhasil. Misi kedua
adalah permainan mengantar bola dengan koran tanpa menyentuhnya, Forerunner
berhasil. Misi ketiga adalah menggiring bola dalam garis segi empat tanpa
menyentuhnya, forerunner berhasil. Misi keempat adalah setiap orang berdiri
dengan satu kaki dalam 1/8 kertas koran, Forerunner gagal L. Misi kelima adalah menghabiskan kopi,
Forerunner gagal, dan misi terakhir adalah menuang air kedalam tabung unutk
mengeluarkan bola di dalamnya, Forerunner berhasil. Bukan mudah menjalankan
misi – misi ini, kesulitan sering dijumpai dan memerlukan strategi khusus. Kami
berhasi melewatinya berkat kegeniusan team leader kami, Ayush.
Sesi berlalu, kami kembali ke
hotel dengan segenap pakaian basah dan kakai berpasir. Kami bersiap - siap untuk global village night. Keberagaman
itu semakin pekat terasa pada malam ini. Setiap delegasi berlomba – lomba
menampilkan ciri khas negara kebanggaan mereka, baik dari pakaian, bendera dan
lagu kebangsaan, souvenir, dan sebagainya. Aku adalah delegasi yang mungkin
paling krisis jati diri pada malam itu. Suku bangsaku adalah Aceh, aku berasal
dari Sumatera Utara, namun pakaian yang aku kenakan adalah Kebaya yang seharusnya
berasal dari Jawa. Penampilan dari masing – masing negara pun tak luput dari
agenda malam keakraban itu. Asma mewakili Thailand menampilkan tarian khas
negaranya yang lemah gemulai, Delegasi dari Malaysia menyanyikan lagu
kemerdekaan mereka, Delegasi dari Filipina, Kamboja, dan Vietnam juga
melantunkan lagu kebangsaan mereka masing – masing, Delegasi dari Jepang dengan
kocak dan meriah menampilkan tarian AKB48 “Aittakatta”, kami yang mewakili dari
sumatera utara termasuk ketua panitia dan CC international relation membawakan
tarian khas Batak “Tor-Tor” dan lagu Alusi Au. Sesi ini adalah sesi yang paling aku suka
namun paling singkat berlalu rasanya.
Berlalunya Global Village Night
menandai kami sampai juga kepada sesi paling akhir konferensi tiga hari ini.
Sesi pembekalan untuk dibawa pulang para delegasi. Delegasi menuliskan janji –
janji pada dirinya masing – masing. Fasilitator menyagarkan kembali ingatan
kami tentang apa – apa saja yang telah kami lalui tiga hari ini. Saling
bergenggaman dan menutup mata, aku tidak ingin acara ini berakhir sampai di
sini saja. Aku tidak ingin berpisah dengan teman - teman yang baru kukenal ini. Tetapi, seperti
yang banyak orang bilang “Setiap pertemuanpasti menemui perpisahannya” . Yah,
minimal kami masih memiliki media sosial untuk tetap saling berkomunikasi.
Kembali kepada pertanyaan –
pertanyaan yang kuajukan di atas. Jawaban yang kumiliki hanya satu. Tingkat
kepedulian mereka terhadap sosial, kemampuan bersahabat, dan inteligensi
menaggapi dan menganalisis masalah yang mereka miliki sungguh sangat jauh dari
apa yang aku bisa. Aku merasa belum mampu disandingkan dengan kecemerlangan
mereka. Mengenai culture shock, tentu
pedasnya masakan Minang mengejutkan
lidah mereka yang memiliki standar rasa berbeda dari setiap negara. Delegasi
dari Pakistan, Hafsa, bahkan sampai menuliskan “No More Spicy Food!” di
kesepakatan peraturan konferensi. Hai Mi juga merasa risih saat berjalan di
tempat umum karena menggunanakan atasan tanpa lengan dan skirt. Sedangakan mereka yang terbiasa untuk makan dengan sumpit
kini tidak menemukan sumpit sekalipun selama seminggu.
Konferensi berakhir, beberapa
delegasi internasional berkomentar “thank
you Indonesia for being so kind and friendly, I’ll never forget yaa. Let me be
your tour guide if you come to travel my country” Tentu. Karena kalian adalah teman
internasionalku. Suatu saat aku harus mengunjungi kalian di negara kalian
masing – masing satu persatu. Semoga Allah memudahkan langkahku, fellas!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Boleh Kenalan?
Arsip Blog
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar