Bercermin Pada Talkshow "Rumah Uya" Trans 7
undefined
undefined
Sore
hari memang waktu yang ideal buat menyetrika pakaian. Saya berpikir alangkah
baiknya menyetrika dilakukan sembari mendengarkan televisi. Televisi, bukan
radio, karena kini di rumah saya, di kampung saya, maupun di negara saya dengan
mayoritas masyarakat menengah ke bawah ini menganggap televisi sebagai media
nomor wahid untuk memenuhi kebutuhan informasi.
Benak menggumam karena
jemari tak henti-hentinya mengubah saluran. Saya pun berhenti pada acara “Rumah Uya” di stasiun
TV terkemuka, Trans 7. Acara talkshow ini di
pimpin oleh host kondang “Uya Kuya”
yang ditayangkan saat prime time
pukul 05.00 sore.
Acara TV itu memenuhi
kriteria acara talkshow. Ada host, bintang tamu, puluhan penonton
dengan almamater yang membantu riuh
tepuk tangan, pemain musik yang membuka atau menutup segmen, bahkan
menghadirkan seorang ulama.
Host
memang memiliki peran paling besar dalam menghidupkan suatu acara. Stasiun TV
ini mempercayakan Uya Kuya sebagai host
seperti banyak acara-acara lain yang pernah ia pandu. Sosoknya memang tidak
pernah luput dari layar kaca. Popularitas, kepiawaian menghibur memang jadi poin penting dari
selebriti yang naik daun kembali karena acara ‘hipnotis’ ini. Tampilan yang stylish dan jauh dari kesan tua dibarengi
candaan-candaan yang menurut saya tidak sesuai penempatan dengan tipe acaya
yang dibawakannya. Talkshow ini
menghadirkan narasumber atau yang mereka sebut klien untuk menyelesaikan
perselisihan yang tergolong serius. Candaan Uya yang dikira mampu mencairkan
suasana menurut saya tidak layak karena terkesan meremehkan masalah yang sedang
diangkat. Seperti halnya saat salahsatu narasumber membawa sehelai tank top (pakaian dalam wanita) untuk
membuktikan pacarnya selingkuh, Uya memainkan tank top itu dan menempatkannya di wajah seolah-olah Ia sedang
menggunakan topeng, padahal saat itu para narasumber sedang berdebat tentang
kepemilikan tank top tersebut.
Sebagai wanita, saya menganggap perlakuan Uya terhadap pakaian dalam wanita itu
kurang etis dan tidak pantas untuk ditayangkan .pada jam penonton semua umur.
Uya Kuya didampingi co-host yang merupakan selebriti-selebriti
wanita cantik, entah itu Prilly Latuconsina atau Kimberly Rider. Saya kurang
paham mengapa menjadikan mereka partner host
karena hampir seluruh segmen mereka tidak memberikan andil banyak untuk
bertugas membawa dan mengarahkan acara, kasarnya hanya menyaut-nyauti host utama, yaitu Uya Kuya. Mungkin karena kulit mereka bening dan
berbalut makeup dan busana trendi,
sang produser ingin sebagian penonton betah di saluran mereka dengan fokus
perhatian itu. Host yang layaknya
seorang moderator sepatutnya cerdas dan awas atas acara yang dipandunya.
Tugasnya adalah sebagai pemimpin yang jeli menangkap pesan dan bertanggung
jawab mengulik makna, bukan hanya untuk dipandang-pandang semata.
Uya Kuya membawakan acara talkshow yang betajuk “Rumah Uya”.
Konsepnya adalah mengadirkan narasumber-narasumber yang sedang memiliki masalah
dalam kehidupan “pribadi” mereka. Masalah “pribadi” yang tampaknya tidak lagi “pribadi”
sebab ditayangkan di media massa ini cukup beragam, mulai dari masalah
keluarga, pertemanan, hingga yang paling banyak tentang asmara dan
perselingkuhan. Narasumber-narasumber ini berasal dari masyarakat biasa yang
berdandan sedemikian rupa hingga layak tampil di televisi. Melihat tampilan
mereka, saya berpikir berapa banyak waktu yang mereka habiskan di salon atau makeup room untuk tata rambut seperti
itu. Tidak terkecuali dengan tata busana plus aksesori yang sedemikian
trendinya. Sempat terpikir di benak saya, apakah benar realitas kehidupan ibu kota
ditinggali kalangan muda dengan
penampilan sehari-hari seperti ini. Kalaupun benar begitu, kami penonton di
pinggiran Indonesia sangatlah tidak bisa relatable
dengan konstruksi realitas yang berusaha TV itu tunjukan. Televisi menjadi
jendela surga bagi kami, gaya hidup mewah kelas atas, fashion serba branded, paras yang serba rupawan
menguasai imajinasi. Namun ketika kami selesai menonton TV, kami jatuh kembali
ke realitas sesungguhnya ke kehidupan di pinggiran Indonesia, kami pun merasa
hina.
Narasumber-narasumber yang
dihadikan acara ini lebih banyak tentang asmara. Sore ini Uya Kuya menghadirkan
masalah asrama seorang laki-laki yang memiliki hubungan dengan lebih dari satu
wanita. Konflik itu bermuda dengan pengakuan seorang wanita yang belum terima
disebut sebagai mantan bertemu dengan pacar dan wanita yang baru dikencaninya
selama sebulan, dan ternyata mereka berteman. Kedua wanita itu bertengkar dan
mengorbankan pertemanan, sementara si paruh acara, datang lagi seorang
perempuan lain yang mengaku masih memiliki perasaan ke pada lelaki tersebut dan
tidak pernah rela pernah diputuskan pula. Tumpang tindih keterangan para
narasumber cenderung memprovokasi penonton agar memilih sendiri seseorang
sebagai sasaran kambing hitam.
Talkshow ini
memang riuh oleh perdebatan “ala
sinetron” para narasumber. Dialog yang mereka bawakan memang sering saya dapati
di FTV-FTV atau sinetron. Seakan bait demi bait memang sudah tertulis dalam
skrip. Begitupun ekspresi para narasumber, seyogyanya kekecewaan ataupun
kemarahan yang sesungguhnya itu tidak akan mungkin tercuat dalam bingkai kamera
dan layar kaca, siapa juga yang mau diliput ketika masalah pribadi yang
berpotensi menimbulkan aib itu diumbar?
Acara ini menghadirkan
seorang ustadzah, ulama wanita kondang yang dulu terkenal memberikan siaran dakwah
dini hari. Sesekali di tengah pergulatan para narasumber, si Ustadzah sering
dimintai solusi dan nasihat atas masalah yang dibawa klien. Kehadiran ulama ini
sepatutnya menjadi simbol keseriusan acara ini dibawakan. Tetapi menimbang isi banyolan
Uya dan masalah narasumber yang lebih banyak tentang “pacaran” yang sebenarnya tidak
diperbolehkan dalam Islam, hal tersebut cukup membuat saya prihatin akan
bagaimana citra keagamaan yang akan di-syiar-kan
si Ustadzah pada acara ini. Pada akhirnya nilai dan nasihat islami bukan lagi
sebagai prioritas Ustadzah tersebut dalam memberikan solusi di acara tersebut.
Masalah yang seharusnya
kompleks itu “berhasil dirangkum acara ini dalam waktu satu jam tayang
dikurangi menit-menit jeda iklan. Entah
setiap kasus-kasus klien dapat berakhir dengan solusi ataupun masalah yang
semakin rumit, yang jelas, hal tersebut tidak menjadi sorotan utama
diproduksinya acaranya ini. Pertanyaannya adalah apakah asmara dan
perselingkuhan merupakan masalah paling pelik yang harus dipetik pelajarannya?
Atau karena tingginya minat penonton Indonesia terhadap konflik asmara seperti yang
disajikan sinetron-sinetron selama ini. Statemen kedua ini barangkali bisa
dijadikan bukti betapa menyedihkannya kita. Kita menyukai tayangan dramatis
yang penuh rekayasa, tenggelam dalam imajinasi dangkal si penulis naskah, sampai
kita lupa bahwa masih sangat banyak masalah lain yang lebih layak untuk
diperhatikan. Adapun hal yang perlu diketahui bahwa pekerja media memeras otak demi mencapai rating tinggi
agar target iklan yang diperintah bos mereka bisa tercapai. Dengan itulah barangkali kita sangat
mendukung acara-acara TV seperti ini semakin berkembang.
21.31 | | 0 Comments
Langganan:
Postingan (Atom)
Boleh Kenalan?
Arsip Blog
Diberdayakan oleh Blogger.