Bercermin Pada Talkshow "Rumah Uya" Trans 7



Sore hari memang waktu yang ideal buat menyetrika pakaian. Saya berpikir alangkah baiknya menyetrika dilakukan sembari mendengarkan televisi. Televisi, bukan radio, karena kini di rumah saya, di kampung saya, maupun di negara saya dengan mayoritas masyarakat menengah ke bawah ini menganggap televisi sebagai media nomor wahid untuk memenuhi kebutuhan informasi. 

Benak menggumam karena jemari tak henti-hentinya mengubah saluran. Saya  pun berhenti pada acara “Rumah Uya” di stasiun TV terkemuka, Trans 7. Acara talkshow ini di pimpin oleh host kondang “Uya Kuya” yang ditayangkan saat prime time pukul 05.00 sore.

Acara TV itu memenuhi kriteria acara talkshow. Ada host, bintang tamu, puluhan penonton dengan almamater  yang membantu riuh tepuk tangan, pemain musik yang membuka atau menutup segmen, bahkan menghadirkan seorang ulama.

Host memang memiliki peran paling besar dalam menghidupkan suatu acara. Stasiun TV ini mempercayakan Uya Kuya sebagai host seperti banyak acara-acara lain yang pernah ia pandu. Sosoknya memang tidak pernah luput dari layar kaca. Popularitas, kepiawaian  menghibur memang jadi poin penting dari selebriti yang naik daun kembali karena acara ‘hipnotis’ ini. Tampilan yang stylish dan jauh dari kesan tua dibarengi candaan-candaan yang menurut saya tidak sesuai penempatan dengan tipe acaya yang dibawakannya. Talkshow ini menghadirkan narasumber atau yang mereka sebut klien untuk menyelesaikan perselisihan yang tergolong serius. Candaan Uya yang dikira mampu mencairkan suasana menurut saya tidak layak karena terkesan meremehkan masalah yang sedang diangkat. Seperti halnya saat salahsatu narasumber membawa sehelai tank top (pakaian dalam wanita) untuk membuktikan pacarnya selingkuh, Uya memainkan tank top itu dan menempatkannya di wajah seolah-olah Ia sedang menggunakan topeng, padahal saat itu para narasumber sedang berdebat tentang kepemilikan tank top tersebut. Sebagai wanita, saya menganggap perlakuan Uya terhadap pakaian dalam wanita itu kurang etis dan tidak pantas untuk ditayangkan .pada jam penonton semua umur.

Uya Kuya didampingi co-host yang merupakan selebriti-selebriti wanita cantik, entah itu Prilly Latuconsina atau Kimberly Rider. Saya kurang paham mengapa menjadikan mereka partner host karena hampir seluruh segmen mereka tidak memberikan andil banyak untuk bertugas membawa dan mengarahkan acara, kasarnya hanya menyaut-nyauti host utama, yaitu Uya Kuya.  Mungkin karena kulit mereka bening dan berbalut makeup dan busana trendi, sang produser ingin sebagian penonton betah di saluran mereka dengan fokus perhatian itu. Host yang layaknya seorang moderator sepatutnya cerdas dan awas atas acara yang dipandunya. Tugasnya adalah sebagai pemimpin yang jeli menangkap pesan dan bertanggung jawab mengulik makna, bukan hanya untuk dipandang-pandang semata. 

Uya Kuya membawakan acara talkshow yang betajuk “Rumah Uya”. Konsepnya adalah mengadirkan narasumber-narasumber yang sedang memiliki masalah dalam kehidupan “pribadi” mereka. Masalah “pribadi” yang tampaknya tidak lagi “pribadi” sebab ditayangkan di media massa ini cukup beragam, mulai dari masalah keluarga, pertemanan, hingga yang paling banyak tentang asmara dan perselingkuhan. Narasumber-narasumber ini berasal dari masyarakat biasa yang berdandan sedemikian rupa hingga layak tampil di televisi. Melihat tampilan mereka, saya berpikir berapa banyak waktu yang mereka habiskan di salon atau makeup room untuk tata rambut seperti itu. Tidak terkecuali dengan tata busana plus aksesori yang sedemikian trendinya. Sempat terpikir di benak saya, apakah benar realitas kehidupan ibu kota  ditinggali kalangan muda dengan penampilan sehari-hari seperti ini. Kalaupun benar begitu, kami penonton di pinggiran Indonesia sangatlah tidak bisa relatable dengan konstruksi realitas yang berusaha TV itu tunjukan. Televisi menjadi jendela surga bagi kami, gaya hidup mewah kelas atas, fashion serba branded, paras yang serba rupawan menguasai imajinasi. Namun ketika kami selesai menonton TV, kami jatuh kembali ke realitas sesungguhnya ke kehidupan di pinggiran Indonesia, kami pun merasa hina.  
Narasumber-narasumber yang dihadikan acara ini lebih banyak tentang asmara. Sore ini Uya Kuya menghadirkan masalah asrama seorang laki-laki yang memiliki hubungan dengan lebih dari satu wanita. Konflik itu bermuda dengan pengakuan seorang wanita yang belum terima disebut sebagai mantan bertemu dengan pacar dan wanita yang baru dikencaninya selama sebulan, dan ternyata mereka berteman. Kedua wanita itu bertengkar dan mengorbankan pertemanan, sementara si paruh acara, datang lagi seorang perempuan lain yang mengaku masih memiliki perasaan ke pada lelaki tersebut dan tidak pernah rela pernah diputuskan pula. Tumpang tindih keterangan para narasumber cenderung memprovokasi penonton agar memilih sendiri seseorang sebagai sasaran kambing hitam. 

Talkshow ini memang riuh oleh perdebatan  “ala sinetron” para narasumber. Dialog yang mereka bawakan memang sering saya dapati di FTV-FTV atau sinetron. Seakan bait demi bait memang sudah tertulis dalam skrip. Begitupun ekspresi para narasumber, seyogyanya kekecewaan ataupun kemarahan yang sesungguhnya itu tidak akan mungkin tercuat dalam bingkai kamera dan layar kaca, siapa juga yang mau diliput ketika masalah pribadi yang berpotensi menimbulkan aib itu diumbar?

Acara ini menghadirkan seorang ustadzah, ulama wanita kondang yang dulu terkenal memberikan siaran dakwah dini hari. Sesekali di tengah pergulatan para narasumber, si Ustadzah sering dimintai solusi dan nasihat atas masalah yang dibawa klien. Kehadiran ulama ini sepatutnya menjadi simbol keseriusan acara ini dibawakan. Tetapi menimbang isi banyolan Uya dan masalah narasumber yang lebih banyak tentang “pacaran” yang sebenarnya tidak diperbolehkan dalam Islam, hal tersebut cukup membuat saya prihatin akan bagaimana citra keagamaan yang akan di-syiar-kan si Ustadzah pada acara ini. Pada akhirnya nilai dan nasihat islami bukan lagi sebagai prioritas Ustadzah tersebut dalam memberikan solusi di acara tersebut.
  
Masalah yang seharusnya kompleks itu “berhasil dirangkum acara ini dalam waktu satu jam tayang dikurangi  menit-menit jeda iklan. Entah setiap kasus-kasus klien dapat berakhir dengan solusi ataupun masalah yang semakin rumit, yang jelas, hal tersebut tidak menjadi sorotan utama diproduksinya acaranya ini. Pertanyaannya adalah apakah asmara dan perselingkuhan merupakan masalah paling pelik yang harus dipetik pelajarannya? Atau karena tingginya minat penonton Indonesia terhadap konflik asmara seperti yang disajikan sinetron-sinetron selama ini. Statemen kedua ini barangkali bisa dijadikan bukti betapa menyedihkannya kita. Kita menyukai tayangan dramatis yang penuh rekayasa, tenggelam dalam imajinasi dangkal si penulis naskah, sampai kita lupa bahwa masih sangat banyak masalah lain yang lebih layak untuk diperhatikan. Adapun hal yang perlu diketahui bahwa pekerja media memeras otak demi mencapai rating tinggi agar target iklan yang diperintah bos mereka bisa tercapai. Dengan itulah barangkali kita sangat mendukung acara-acara TV seperti ini semakin berkembang. 

Magang dan Travelling (Part 2)

Bangkok, adalah destinasi yang tepat buat backpacker atau traveller yang ingin jalan-jalan murah. Mata uang yang tidak terlalu mahal bagi rupiah membuat saya tergiur memilih negara ini untuk magang selama sebulan. Meskin sempat terkejut karena diluar ekspektasi, khususnya dalam hal biaya. Mata uang Baht tidak semurah yang saya perkirakan sejak awal. biaya hidup tetap lebih mahal dari pengeluaran saya yang biasanya di Medan. Satu porsi makanan dihargai sekitar 45-60 Baht(Sekitar Rp 20.000), menu yang ditawarkan beragam, mulai dari makanan berkuah sampai nasi dengan lauk. Makanan Thailand itu khas dengan keasaman dengan campuran buah lemon, perasan jeruk nipis, atau yoghurt. Tomyum sendiri terdari dari dua jenis, kuah bening dan kuah kental yang dibuat dari santan, susu, dan yoghurt. Saya pribadi menggilai Tomyum dengan kuah santan dengan rice noodle, jamur, dan udang. Kecap ikan, garam, cabai kering, sambal yang masam sekali menjadi pendamping di setiap hidangan. 

Fishball with Yentafu
Selama di Bangkok, Seven Eleven adalah dapur bagi kami. Mulai dari nasi, mie instan, ayam siap santap, snack, air mineral, susu, kopi, roti, dan beragam makanan yang dapat diperoleh secara instan. Seven Eleven semakin menjadi penyelamat kelaparan karena didukung alat pemanas microwave, mesin pemanggang sosis, mesin kopi dan minuman ringan lainnya. Sebulan menetap di Kota Bangkok dengan keadaan finansial yang pas-pasan juga memaksa kami untuk mengalami masa krisis makanan. Selain karena ketersediaan dan harga makanan halal yang cukup menguras dompet, saya menjadikan kacang tanah asin yang dijual di Seven Eleven sebagai menu wajib makan pagi atau makan malam. Saya begitu mengandalkan kacang sebagai lauk utama setiap hari sehingga teman-teman magang lainnya membuat banyolan “Mut, awas pulang-pulang ke Medan berubah jadi tupai”. Ya, alhasih setelah sampai di Medan bukannya berubah menjadi tupai tetapi jerawat dan berat badan semakin bertambah. 

menu sehari-hari di sana
 Sebagai seorang muslim memang tidak gampang mendapatkan makanan halal saat di Bangkok, tidak semua bisa dikonsumsi meskipun amat banyak pedagang jajanan kaki lima dengan wangi dan penampilan yang super menggiurkan. Perhatian kami pun terfokus pada jajanan buah potongan seperti halnya penjual rujak di Indonesia. Berbeda negara, berbeda pula konten yang dijual meski sama-sama menggunakan konsep rujak. Hal unik yang saya temui adalah mangga muda yang terasa manis semanis jambu, buah semangka dengan ukuran super jumbo tanpa bji, buah naga yang lumrah dijual supermurah, dan buah yang tidak saya kenali namanya(semacam sawo dengan tekstur daging berwarna putih, rapuh, kelat dan lembut asam di bagian tengahnya). Bumbu rujak di sini hanya berbentuk bubuk cabai dibubuhi udang, garam dan gula, dan rasa-rasa unik lainnya. Makanan ringan lainnya yang sering ditawarkan pedagang adalah daging jeruk bali yang dijual dengan harga sekitar 40 baht. Orang Bangkok memang penggemar asam. Tidak sedikit saya temui orang-orang memakan jeruk bali berdaging merah dengan bumbu manis asin di tepi-tepi jalan sebagai camilan. Camilan unik lainnya yang menjadi kebiasaan masyarakat Bangkok adalah makan durian. Durian dijual dengan harga yang lebih mahal, sekitah 80-150 baht. Semakin matang daging durian, maka semakin murah harga satu kemasannya, hal itu karena penduduk Bangkok lebih menggemari durian bedaging mentah, untung banget untuk kita orang Indonesia penggila durian pulen di sini. Hal yang membuat saya tercengang adalah cara bagaiamana penjual durian mengupas kulit durian. Kulit durian yang kita kenal keras dan bisa menyebabkan luka bukanlah menjadi rintanngan para penjual. Buah durian di Thailand memiliki tekstur kulit durian yang lembut dan elastis. Tanpa menggunakan tenaga yang mempertegang urat, para penjual tidak perlu kesusahan mengupas kulit durian layaknya mengupas kulit pisang.
Minuman air kelapa dengan cangkang kelapanya, air perasan jeruk nipis dan perasan delima juga banyak terlihat dijual dengan harga minimal 20 baht(Rp 8.000). Minuman yang paling saya rindukan adalah Teh Tarik Khas Thailand(Chayen) dengan rasa paling khas yang tidak dapat saya temui di Medan. Teh tarik dijual dengan kemasan cangkir amat besar sehingga sulit untuk dibawa dengan satu tangan. Meski terlihat banyak, jangan heran jika isi teh yang sebenarnya hanya segelas kecil teh berwarna merah yang ditambah susu, es lah yang membuatnya menjadi terlihat banyak. 
Teh Tarik(Chayen) dengan cup super jumbo
 Rossy Rose Hostel adalah hostel yang kami kira akan menjadi hostel sementara untuk ditinggali. Susahnya mencari alternatif tempat tinggal yang dekat dengan kantor, murah, dan nyaman mengharuskan kami memperpanjang kontrak di Rossy Rose Hostel selama sebulan, tentu dengan usaha tawar-menawar harga yang cukup sengit di antara perbedaan bahasa. Banyak cerita lucu di sini. Hostel ini tidak mempunyai pelayan, artinya kami harus mengangkat koper 20 kg lebih sendiri melalui tangga-tangga ke kamar di lantai yang paling atas, the struggle was real. Meski hostel sederhana, namun fasilitas yang diberikan cukup memadai(Wi-Fi, shower, pemanas air, dan AC). Hostel hanya menyediakan air botol kemasan dalam kulkas untuk kami yang terkadangan mereka juga kehabisan stok, jadi kami harus beli sendiri. Resepsionis yang juga pelayan seadanya hostel selalu berganti-ganti, seingat kami selama sebulan ada 9 resepsionis yang bergantian menjaga hostel (Phi-ink & adik Aya, Ice, Abang B*kep & pacarnya, Abang Arabian-faced, Pria bertindik, Bibi Mayday dan Suami). Pemberian gelar ini tentu memiliki alasan sendiri. Phi-ink dan Ice adalah resepsionis awal bulan itu, mereka cukup mengerti bahasa Inggris walau susah untuk berinteraksi, tidak dengan ketujuh resepsionis lainnya, mereka tidak mengerti sama sekali bahasa inggris, bahkan bahasa isyarat termudah sekalipun masih disalah artikan. Tanpa bahasa, kami hanyalah manusia yang dibatasi dinding ketidaksepemahaman. Terima Kasih untuk mereka yang sudah memberikan contoh nyata repotnya hambatan komunikasi sampai bikin frustasi...hehe. pada akhirnya, aplikasi Google Translete mencapai fungsi utamanya, membantu persamaan perngertian bahasa. Kami berinteraksi menyampaikan keluhan kami dengan Google Translete

Abang bok*p dan pacarnya, gelar ini memang kurang pantas, tetapi hanya ini yang kami punya untuk menjulukinya karena suatu momen yang agak mengejutkan. Saat seseorang dari kami meminta sedikit bantuan resepsionis, ia tertangkap basah sedang menyaksikan tayangan *tiiiittt* di layar ponselnya. Cukup creepy namun kami tau abang yang masih sering senyum ini tidak akan berlaku macam-macam dengan wanita-wanita Batak ini. Diantara semua resepsionis, abang ini adalah yang paling gampang nyerah berinteraksi dengan selain thai-speaker. Dia langsung nelpon bosnya, Madam Rose, satu-satunya pengurus dan pemilik hostel yang bisa bisacara English. ”what time this hostel closes at night?” “are our friends already on upstrair?”adalah pertanyaan yang sangat sulit dimengerti Abang Bok*p. Si Abang langsung nyerah dan menelponkan Boss Rossy seolah ini pertanyaan genting. Untuk pertanyaan kedua, Memangnya Madam Rose yang entah sedang dimana selalu tau apakah teman kami sudah naik ke kamar atau belum? Ini adalah momen yang membuat kami terpingkal-pingkal berhari-hari. Abang Arabian-faced dijuluki seperti itu karena walaupun Thai guy, perawakannya mirip arab. Pria bertindik menjaga hostel hanya sehari, ia memmiliki tindik yang memberikan kesan seperti gangster. Yang terakhir adalah bibi Mayday. “Mayday Wifi...Mayday”(Wifi tidak bisa)  satu-satunya kalimat yang ia ucapkan dan itu mencapai kesepemahaman diantara kami, ia dan suaminya adalah resepsionis terlama yang menjaga hostel hingga akhirnya melepas kepulangan kami. Kami mengerti niat baik yang sebenarnya dimiliki si bibi. Kalau saja kita satu bahasa, pasti bibi sudah jadi tempat curhat kami sepulang dari kantor. 

Tinggal di kawasan turis Pratunam juga memberikan pengalaman unik yang menarik. Kawasan turis memungkinkan kita seperti berada di suatu wilayang dengan keberagaman ras, warna kulit, dan kebangsaan yang terlihat jelas. Mulai dari penduduk asli Bangkok dengan mata sipit dan perawakan yang lebih cenderung ke Asia Timur, kaukasian-kaukasian berwajah kecil dengan rambut pirang, wisatawan-wisatawan Timur Tengah dengan Abaya tradisional mereka, dan orang-orang berkulit hitam. Semua turis dan wisatawan memenuhi setiap sudut kota, mall, kafe, dan pusat perbelanjaan. Maklumlah, Bangkok memang surganya belanja, dengan harga yang relatif murah, kita bisa mendapatkan barang unik dan kulaitas bagus. Bahkan berdasarkan pengamatan saya, lebih murah rasanya untuk membeli pakaian dari pada makanan di sini. 
Tinggal di kawasan turis juga mengarahkan kami atas pembenaran stereotip negatif tentang Thailand. Benar sekali, Ladyboy. Tidak sulit untuk menemukan wanita-wanita Asia berparas cantik, dengan kulit bening sempurna dan proporsi wajah yang menawan. Yang tersulit adalah membedakan manakah di antara wanita-wanita tersebut yang benar-benar wanita. Operasi plastik kabarnya merupakan hal yang terjangkau di Bangkok. Pengalaman yang paling menampar saya adalah ketika di-traktir oleh Bu Mey(diplomat di fungsi Politik) di restauran GLOW di Shibuya. Kami disambut dan ditawarkan menu oleh seorang pelayan cantik berambut pirang dengan suara sangat halus . Sebagai perempuan saya cukup mengagumi kecantikan pelayan tersebut dengan wajah tirus, badan langsing dan makeup yang tepat, pelayan juga sempat salah tingkah saat kami semua memperhatikannya. Pelayan pergi usai mencatat pesanan, Jane(salah satu teman magang) memecah keheningan, “aku tinggal nunggu dia serak aja atau tersedak aja”. Sempat nggak ngerti maksud Jane, namun setelah dicerna lagi ternyata Jane lebih dulu menyadari kalau pelayan itu bukan perempuan. *hits blunst* saya sempat panik dan menanyakan bagaimana Ia membuktikan pelayan itu bukan perempuan. “gampang mut, lihat jenggotnya, masih ada bekas cukuran, kayaknya dia belum suntik hormon, trus buah jakun di lehernya juga masih ada”. “trus gimana suaranya bisa halus kali gitu” saya histeris amat penasaran. Benar, ketika pelayan itu datang lagi, saya mulai menyadari bahwa dia seorang Ladyboy, it took me forever to realize though. Kalau jalan-jalan di mall, kita juga nggak akan bisa ngelepas pandangan dari laki-laki bule yang gandengan tangan dengan ladyboy. Ladyboy-ladyboy ini diuntungkan dengan kaki-kaki yang jenjang that makes them dress well than the real women. Implan-implan yang tergantung di dada mereka juga sangat provokatif. Pernah di suatu malam di akhir pekan, jalanan di bawah jembatan penyebrangan agak berdesakan. Saya terkejut bukan main ketika menghadapi sepasang payudara ladyboy dengan gaun yang sangat terbuka tanpa bra tepat di depan wajah, karena tubuhnya yang tinggi. Tentu bukan hal yang pernah saya jumpai di negara tercinta. 
Gaya berpakaian orang-orang di Thailand juga lebih bebas dan terbuka. Mulai dari mini skirt, celana pendek hingga yang tidak menggunakan celana apapun akan ditemui di tempat-tempat umum. Mereka cukup confident untuk tampil dipublik hanyak menggunakan pakaian dalam dan kemeja tipis tanpa celana. Sempat shock, tapi kami sadar ini bukan Indonesia, budayanya berbeda jauh. Tidak mengherankan jika wanita-wanita di sini dengan bebasnya mengenakan pakaian terbuka. Bu Shanti(diplomat di fungsi Protokol dan Konsuler) menyatakan kalau orang-orang di Bangkok sudah bersifat permisif, supir tuk-tuk, pedagang di jalan, atau laki-laki sainnya tidak akan berani menggoda walau se-seksi apapun seseorang wanita melintas, tidak akan ada yang menggoda atau berusaha melecehkan mereka. Berbanding terbalik dengan Indonesia. Jika di Indonesia kita kan mulai digodai laki-laki jika melintas dengan pakaian yang kurang sopan, itu adalah sanksi sosial yang dimiliki masyarakat kita yang membuat kita berpikir lagi untuk menggunakan pakaian kurang senonoh di muka publik. Di sisi lain, entah kenapa saya merasa lebih nyaman untuk berjalan di larut malam di Kota ini, takut akan kejahatan perampokan atau pemerkosaan sama sekali tidak memomoki saya dan teman-teman. Berbeda rasanya jika di Medan, kita selalu memiliki perasaan was-was dan ketakutan seperti ada orang berniat jahat yang mengikuti dari belakang. Perasaan ini sama sekali tidak saya temui saat menetap di Bangkok. 
Selama menetap di Bangkok, kami menyempatkan jalan-jalan setiap akhir pekan. Sebagai traveller minim dana, kami mengunjungi tempat-tempat wisata yang tidak memakan banyak biaya. Berdasarkan panduan dari blog-blog traveller, kami sempat mengunjungi beberapa tempat, yakni kuil budha yang juga dihormati hindu, Asiatique, Khaosan Road, museum-museum, pasar weekend Chatucak, dan Grand Palace. Kuil-kuil di Bangkok dihormati oleh agama Buddha sekaligus agama Hindu. Setiap tempat yang kami kunjungi memiliki kesannya masing-masing.
Asiatique, tempat nongki paling keren di tepi sungai Chao Praya(sungai terbesar di Bangkok. Banyak kafe, butik, dan sarana hiburan untuk pengunjung. Asiatique bisa diakses secara gratis dengan shuttle boat yang menyebrangkan pengunjung setiap satu jam sekali secara gratis dari stasiun BTS Saphan Taksin. Suasana gemerlap malam kota Bangkok dapat dirasakan di Asiatique.
Asiatique lebih keren di malam hari
 Grand Palace adalah istana kerajaan Thailand yang menjadi ikon penting Kota Bangkok, kalo berkunjung ke Bangkok memang tidak sah kalau belum menikmati keindahan arsitektur Istana Kerajaan yang unik khas Thailand. Tiket masuk juga tidak murah untuk turis asing, sekitar 350 Baht. Kami yang dananya sangat terbatas namun dengan rasa penasaran cukup tinggi mengendap masuk melalui jalur orang Thai yang tidak dikenakan biaya sepeser pun. Grand Palace amat luas, tidak mampu kami menggapai seluruh lokasi, hanya satu blok lokasi dengan beberapa kuil unik yang mampu kami telusuri dengan berjalan kaki berhubung cuaca sangat panas dan penas saat itu.
 
di Grand Palace

Khaosan Road tidak jauh terletak dari Grand Palace. Jalan satu lorong ini cukup terkenal dan disebut banyak blog traveller di. Kami datang pada siang hari dan suasana tidak begitu ramai hanya  keramaian bule memenuhi kare. Di Jalan inilah makanan ekstresm kalajengking itu dijual(satu tusuk=2 kalajengking dihargai 100 baht pertusuk). Khaosan Road baru akan sangat ramai di malam hari, saat itu pula hiburan-hiburan malam ditampilkan di pinggir jalan dan dengan jajanan pasar yang lebih banyak lagi. 
Yang terakhir adalah Pasar weekend Chatucak. Amat sangat ramai mulai pagi hari hingga sore hari. Pasar ini menjual segala macam souvenir dan pakaian yang biasa dibawa turis untuk oleh-oleh. Seperti pasar pada umumnya, panas dan berdesak-desakan. Bedanya adalah kalau berdesakan di pasar ini, kamu akan mencium bau keringat dari berbagai negara. Turis mancanegara berkewarganegaraan berbeda bersatu berkumpul menjalin tawar menawar. Karena lebih sering dikunjungi bule-bule berkantong tebal, menurut saya barang-barang yang dijual di pasar ini tidak lebih murah dari pasar lainnya. Namun untuk sekedar memanjakan mata dan merasakan atmosfer diversity, it wotrh a visit. Jajanan pasar unik yang sulit ditemui juga banyak tersedia. 
Untuk berkeliling kota Bangkok sendiri kita tidak perlu khawatir dengan masalah transportasi. MRT, Sky Train(BTS), Bus, Tuk-tuk, Taksi, dan bahkan Ojek juga dapat dengan mudah ditemui. Kalau ingin berhemat sebaiknya menggunakan bus untuk berpergian, ongkos sekali perjalanan hanya 9-20 Baht tergantung seberapa bagus bus yang dinaiki. Bus juga memiliki nomor-nomor tertentu dengan tujuan tertentu, lebih baik menanyakan terlebih dahulu kepada beberapa orang sebelum berpergian dengan bus. Sky Train(BTS) adalah kereta cepat yang beroperasi di udara(lintasannya tidak di tanah), tarifnya juga tidak terlalu mahal sesuai dengan tujuan ke mana si penumpang akan turun. Selain itu ada MRT, kereta yang beroperasi di bawah tanah, tarif MRT adalah mahal namun masih terjangkau. Baik stasiun BTS atau MRT terdapat di pusat-pusat kegiatan penduduk Kota Bangkok. Begitu banyak pilihan transportasi yang bisa dinaiki membuat mobilitas penduduk dengan kegiatannya masing-masing semakin aktif, nyaman, dan digampangkan. Banyaknya alternatif ini juga memiliki dampak besar dalam mengurangi kemacetan. Salut buat pemerintahannya yang sudah berpikir sistematis menuju kehidupan yang lebih layak dan menguntungkan semua pihak. 
Tiket BTS(Sky Train)
Beruntungnya karena kegiatan kantor, kami sempat diajak oleh atase pendidikan untuk berkunjung ke Pattaya dan Nakhon Ratchasima. Dua wilayah ini terletah di luar Kota Bangkok. Kami ke Pattaya untuk mengantar mahasiswa Unnes yang magang di sekolah Internasional di Pattaya. Sepulangnya, kami mengunjungi Noongnooch Garden Park dengan desain taman yang amat memukau untuk memanjakan penglihatan. Di Garden Park ini juga ditampilkan atraksi sirkus hiburan gajah, atau hanya sekedar berkeliling taman dengan duduk di atas gajah. Taman ini tidak mengandalkan sumberdaya alam apapun sebagai andalan. Namun, desain tata letak arsitektural taman mulai dari kuil-kuil, patung-patung hewan, pameran mobil sports, dan sebagainya amat memukau. Ini semua buatan manusia. Thailand mengeluarkan modal besar untuk mengundangang banyak wisatawan asing ke negaranya hanya dengan membuat hiburan taman artificial seperti ini, DAN ITU BERHASIL, tarif untuk masuk ke Garden Park ini tidak murah(Rp 250.000 per orang). Berbanding terbalik, sangat miris dengan sumber daya mengagumkan yang disediakan alam di Indonesia. Danau Toba misalnya, Danau Toba kini bukan lagi menjadi magnet wisatawan asing. Keindahan alam itu sudah tersedia, dengan pemasaran dan sedikit pengelolaan yang baik, Danau Toba akan menjadi surganya para wisatawan mancanegara. Barangkali kita saja yang kurang mampu memanfaatkan apa yang sudah diberikan Tuhan. 


Noongnooch Pattaya Garden and Resort

Perjalanan jauh kami tempuh ke Nakhon Ratchasima untuk meghadiri pameran ASEAN yang diadakan kementrian pendidikan dan kebudayaan Thailand. Pameran ini diadakan di Universitas Suranaree, universitas teknologi yang luasnya mungkin satu kecamatan. Acara ini lingkup ASEAN, indonesia diberikan booth untuk memamerkan kebudayaannya. Nakhon Racthasima terletak sekitar 4 jam dari Kota Bangkok ke arah Thailand bagian Utara. Masyarakatnya juga lebih ramah dan welcome ketimbang penduduk Kota Bangkok yang cenderung lebih individualis. Selama acara banyak sekali pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan anak-anak kecil, mulai dari bernyanyi,menari, memainkan alat musik, berpidato yang semuanya bertema ke-ASEAN-an. Meskipun kegiatan ini mengulas hubungan multinasional, tetap saja sebagian besar acara diisi dengan bahasa Thai yang buat kami manut-manut pura-pura ngerti. Panitia yang turut mengurus booth Indonesia juga sangat ramah, menyadari di antara kami ada beberapa muslim, makan siang kami yang seharusnya dihidangkan dengan masakan tradisional Thailand diganti dengan Bento Sushi dari Jepang karena keseluruhannya diisi oleh ikan. Cece pasti nggak akan lupa dengan pribahasa yang kita buat “gara-gara wassabi setitik, usak bento sebelanga”, itu memang pengalaman pertama saya mengkonsumsi wassabi yang cetar baunya hingga menurus sel syaraf di otak. Bener-bener bikin mual. Saya yakin bukan saya sendiri yang berpendapat demikian. 
Pameran Kebudayaan di Universitas Suranaree

Makanan Tradisional yang disajikan dalam bambu(lupa namanya)
Menemui dan berinteraksi dengan banyak orang di Thailand memunculkan stereotip positif dalam pemikiran saya kalau, damn, they have such great hospitality for foreigners like us. Bukan hanya sekedar penghargaan terhadap perbedaan, melainkan juga keramah-tamahan yang bikin betah tinggal di sana dan kangen untuk datang lagi. Bangkok, Thailand, orang-orangnya, makanannya, suasananya, bahasa mereka yang semakin lama terasa semakin kedengaran indah. Tata cara berbicara mereka sangat halus, ramah, dan sopan, layaknya orang Sunda di Indonesia dengan komunikasi konteks tinggi(HCC). Kalau diberi kesempatan untuk tinggal di sana, i won’t ever say no.
Pratunam, Bangkok

Masa PKL di Kantor KBRI berakhir, saatnya kami pulang ke tempat dari mana kami berasal. Untuk mengejar matakuliah yang tertinggal, empat di antara kami memutuskan untuk segera pulang dari Bangkok menuju Medan dengan pesawat 2 jam penerbangan. Saya dan Kak Rika memilih alternatif lain untuk pulang, dengan memanfaatkan biaya tiket pesawat pulang yang lebih mahal, kami memutuskan untuk singgah travelling ke Pulau Pinang, Malaysia. Harga tiket pesawat sekitar Rp 1.600.000 itu kami manfaatkan untuk perjalanan dengan Sleeping Train dan stay di Pulau Pinang selama 2 malam. Naik sleeping train sendiri memakan waktu selama 20 jam perjalanan dan biaya sekitar Rp 600 ribu. Membayangkan bahwa duduk di atas kereta selama 20 jam sudah kedengaran seperti neraka. SALAH, inilah bagian paling mengasyikkan dalam traveling kami menuju Malaysia. Sleeping train banyak dinaiki oleh traveller dan backpacker mancanegara. Kami memulai perjalanan pada pukul 3 sore waktu setempat dan sampai di tujuan keesokan harinya pada pukul 11 siang waktu malaysia.


Namanya juga sleeping train, begitu hari semakin gelap dan jam menunjukkan pukul 8 malam, susunan tempat duduk disulap petugas kereta menjadi dua tingkat tempat tidur yang empuk, disertai bantal, dan selimut. Kanyaman semakin dijamin dengan tirai yang digerai di setiap tempat tidur membuat serta merta kereta ini terlihat seperti asrama. Hal yang paling romantis itu adalah ketika kita dapat meluruskan kaki berbaring dibawa ayunan kereta yang tidak melaju begitu cepat dan dapat menikmati sekelebat-sekelebat cahaya lampu dari luar jendela. Kain seprai dan selimut yang disediakan juga higienis dan nyaman. It was one of the best feelings ever of my life. Ketika kami bangun pagi dibangunkan oleh cahaya matahari keesokan harinya, kami masih berada di daerah paling selatan Thailand. Sekitar pukul 8 pagi, kereta memasuki wilayah perbatasan utara Malaysia. Kami berhenti di Stasiun Padang Besar untuk melalui proses immigrasi. Hanya beberapa jam kemudian kami sampai di Stasiun Butterworth. Stasiun Butterworth berada dekat dengan dermaga kapal motor dan feri penyebrangan ke Pulau Pinang. 
Kapal motor menuju Pulau Pinang dari Stasiun Butterworth



Suasana ketimuran Asia mulai memudar dari atmosfer negara Thailand. Kami berhadapan lagi dengan orang-orang Melayu yang tidak jauh gelagatnya dengan orang-orang di Indonesia. First Impression di Malaysia ini bisa dibilang begitu buruk. Kami adalah dua orang traveller dengan bawaan 22 kilogram koper dan tas-tas yang luar biasa berat. Untuk mencapai dermaga sendiri, kam i harus menaiki beratus anak tangga, ini sangat tidak mungkin ditempuh. Memutuskan untuk bertanya kepada supir taksi bukanlah hal yang tepat, langsung saja iya menawarkan jasa taksi dengan cara memaksa. Bahkan Ia sempat berbohong kalau naik feri di dermaga di charge sama dengan naik taksi ke pulau Pinang melalui jembatan penyebrangan, sama-sama di-charge 70 ringgit. Kami sempat heran karena tidak berdasarkan blog traveller, sekaligus cemas dengan keadaan uang kami yang hanya memegang 150 ringgit sampai waktunya pulang ke Medan. Saat kami mulai nekat ingin menaiki tangga dengan bawaan koper, akhirnya seorang satpam menegur dan menyarankan kami untuk menaiki shuttle van milik Butterworth untuk sampai ke dermaga, dan itu GRATIS. Kami hanya bisa mendengus dengan sikap super taxi tadi yang hampir berhasil memaksa kami. Ditambah lagi saat sampai di dermaga, petugas hanya men-charge kami dengan 2 ringgit 4 sen perorang.

Pemandangan laut dan Pulau Pinang tidak baisa kami nikmati dengan baik mengingat kabut asap yang parah saat itu. Feri berlabuh di dermaga Pulau Pinang, kami bergerak menggunakan Bus Jeti Rapid Penang ke George Town di mana hotel yang sudah kami booking berada. Penampilan yang lecek dan koper-koper membuat kami lebih terlihat seperti TKI yang kabur dari pada traveller. Itu terbukti dari 3 orang yang bertanya kapada kami selama berada di Pinang, “nak kerja kat mana?” tanya seorang supir bus, “runaway?” tanya seorang wanita keling di halte, dan “TKI ya?” tanya seorang wanita Chinese di Pesawat saat pulang ke Medan,. Oh Gawd, it’s none of your business, kita orang Melayu mah emang suka mikirin urusan orang lain, kasar banget nggak sih nanyak begituan? Ini yang nggak kami dapati saat di Thailand. 

Kami tiba di Dream Hotel dengan tarif paling murah yang kami pesan jauh-jauh hari. Sekitar 160 ribu perorang, kami bisa stay 3 hari 2 malam di Pulau Pinang. Pelayanannya juga sesederhana harganya, dengan kamar mandi di luar, AC, sarapan roti, kopi, dan teh di pagi hari, tapi itu sudah cukup, dari foto pengunjung yang pernah berkunjung di hotel itu, tidak sedikit bacpacker mancanegara yang pernah tidur dan menginap di sana. Kami memanfaatkan 3 hari 2 malam itu untuk berkeliling di sekitaran George Town(street art), Kek Lok Si Temple, Penang Hill, Gurney Beach, dan Fort Cornwallis. Penang Island ini memang benar-benar recomended buat liburan, karena banyak sekali tempat yang bisa dikunjungi dan tranportasi publiknya juga nyaman. Ada beberapa saran buat yang belum pernah ke sana. Kalau berkeliling street art George Town untuk melihat Mural(lukisan dinding), baiknya menyewa sepeda, karena letak lukiran satu dan lukisan lainnya tidak dekat. Tidak sulit menemukan jasa peminjaman sepeda di George Town. 
George Town Street Art(Mural)

Kek Lok Si Temple adalah temple Buddhist terbesar se Asia Tenggara yang terletak di atas perbukitan, untuk mengunjungi semua bagiannya, kita dapat diantarkan dengan kereta naik ke atas bukit. Arsitektur Kek Lok Si sangat mengagumkan. 
 
hanya sebagian kecil kenampakan dari Kek Lok Si Temple
Penang Hill juga tempat wisata yang menyediakan wisatawan untuk menikmati keindahan panorama Pulau Pinang dari ketinggian di atas bukit Bendera. Untuk naik ke atas bukit sendiri, kita akan diantar dengan kereta yang memiliki lintasan diagonal dengan tarif RM 30 untuk orang biasa. Saat beli tiket kereta diagonal itu, kami menggunakan identitas kartu mahasiswa, student hanya dikenakan RM 15.
Lintasan Kereta naik ke atas bukit

Kabut asap mengganggu panorama dilihat dari atas Bukit Bendera, Penang Hill

Suasana Kotanya juga masih seperti masa lalu di tahun 1970-an. Bangunan pertokoan dan bangunan bersejarah dilestarikan, bahkan sepeda motor yang digunakan masyarakatnya adalah sepeda motor yang nge-hits pada tahun 1980 sampai 1990-an. Saya pribadi saat berada di Penang merasa seperti berada di Kota Rantau Prapat. Tidak berbeda jauh dari tipe bangunan pertokoannya, bedanya hanya lalulintas di Penang lebih terstruktur, tidak ada angkot atau becak, yang ada hanya bus dan taksi. Harga makanan di Penang juga relatif mahal mungkin karena currency rupiah yang jauh lebih murah. Di Penang juga pertama kali saya nyobain Laksa, jujur saya kurang suka dengan perpaduan mie yang terbuat dari sagu dalam kuah gulai ikan yang tajam baunya, ditambah dengan irisan mentimun dan bawang bombai. Hal yang membuat tidak nyaman di Penang adalah kebiasaan penduduk berdarah India yang suka melihati kita dengan pandangan yang cukup creepy, khususnya kaum lelakinya. 
Laksa

Overall, pengalaman praktek kerja lapangan yang sekaligus traveling itu cukup mengukir memori dan tersimpan di ingatan yang menyenangkan. Terima kasih buat Tuhan atas kesempatan memperluas wawasan dengan mengunjungi wilayah yang belum pernah ditapaki, terimasih untuk orangtua atas dukungan restu dan finansial hingga perjalanan kami berakhir sampai ke medan lagi dengan selamat. Terimakasih untuk Kak Rika, the best Travel-mate yang punya jiwa petualang yang sangat terandalkan, nggak tau lah bisa survive atau enggak kalo nggak sama kakak. Terima kasih Untuk cece-cece, Jane, Delila, Monica, There udah jadi jadi keluarga inti saat di Bangkok. Terima kasih buat semuanya yang sudah memberikan saya arti sebenarnya tentang bagaimana menghargai kehidupan untuk mengukir momen-momen untuk diingat sampai tua. I Love You Guys!!
 
Bersama Kak Rika dan Turis Taiwan yang numpang foto

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate